Jumat, 23 November 2018

Perlunya Pendidikan Budaya

Pendidikan sangat dibutuhkan untuk membentuk generasi yang ideal.
Ideal yang saya maksud adalah generasi yang mampu menjaga jati diri suatu bangsa khususnya Indonesia.

"Bhinneka Tunggal Ika" merupakan salah satu dalih untuk mempertahankan keutuhan Indonesia. Teorinya cukup sederhana yaitu banyak tapi tetap satu. Artinya meski beragam namun tetap berada pada satu wilayah kenegaraan yang sama yaitu Indonesia. Dalam hal ini jelas diperkuat oleh Sumpah Pemuda.

kegiatan Talkshow yang manarik namun sedikit mengusik. Kembali mengorek kegelisahaan diri terkait bagaimana Indonesia ini kedepannya??.
Kepada siapa nahkoda kepemimpinan akan diberikan?.
Jawabannya sederhana yaitu kepada generasi muda sekarang ini tepatnya generasi zaman now atau generasi milenial.
Meskipun kuantitas Sumber Daya Manusia tidak lagi dipertanyakan, namun jika ditelusuri lebih mendalam justru akan membawa kita pada muara kegelisahan. Bagaimana kualitas pemuda sekarang ini?..
Jika memang berkualitas, apakah kualitas tersebut menyebar dengan skala luas atau hanya terdapat pada orang-orang tertentu saja yang memang dipersiapkan oleh tuan-tuan elit yang memegang nahkoda sekarang ini??

Penguatan nilai-nilai kearifan lokal dalam menghadapi era disrupsi yang dibawakan pada acara Talk Show tepatnya di Baruga Anging Mammiri, Makassar tanggal 23 Nov 2018 menyorot dua aspek kehidupan yaitu Pendidikan dan Budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa di era sekarang ini memang banyak nilai yang terdisrupsi lalu nilai yang terdisrupsi tadi tergantikan dengan nilai-nilai yang baru. Tidak menutup kemungkinan nilai yang baru ini berkambang secara bertahap yang tentunya diiringi dengan perubahan pola tindakan, dari pola tindakan lama ke pola tindakan yang baru dan relevan dengan nilai yang baru pula. Tindakan baru tersebut menjadi sebuah aktifitas yang sering terjadi yang nantinya akan menjadi suatu kebiasaan. Dari suatu kebiasaan inilah yang bertransformasi menjadi budaya yang baru dan menggeser budaya yang telah ada sebelumnya.

Tidak mampu kita mengelakkan dan memunafikkan perkembangan zaman. Karna telah menjadi suatu kenyataan yang benar-benar terjadi bahkan kita merasakan sendiri. Tidak ada salahnya kita mengikut pada perkembangan zaman pada aspek teknologi yang bersifat global. Namun sayang salah satu dampak yang timbul dari perkembangan teknologi ini adalah tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal itu sendiri. Sementara kearifan lokal merupakan jati diri dari setiap daerah. Membahas soal jati diri, sudah barang tentu erat kaitannya dengan yang namanya karakter. Jika pendidikan budaya ini dikesampingkan, maka penerus bangsa akan mengikut pada suatu budaya luar yang membuming. Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan budaya luar tersebut?
Tentu ini tidak lepas dari perkembangan teknologi yang begitu pesat.

Jika pemerintah menyadari perlunya penguatan nilai-nilai kebudayaan di setiap daerah maka nilai-nilai penguatan daerah ini akan dituangkan pada aspek pendidikan, baik pendidikan formal atau non formal. Namun sayang paradigma  yang terbentuk dikalangan generasi milenial atau generasi zaman now ini menganggap bahwa orang-orang yang berpegang teguh pada budaya itu adalah orang-orang yang kolot dan ketinggalan zaman katanya. Baru dikatakan modern jika gandrung terhadap artis korea, suka lagu-lagu barat dan sejenisnya.

Salah satu dosen yang memaparkan keluhannya di acara Talk Show terkait kualitas mahasiswa sekarang ini. Keluhan yang berisi tentang bobot makalah tugas mahasiswa cenderung merupakan copy paste. Keluhan tersebut tidak lepas dari dampak yang timbul dari perkembangan teknologi yang terjadi.
Kita sama-sama menyadari bahwa manusia itu lebih cenderung melakukan pekerjaan yang kurang menguras tenaga, pikiran, waktu dan materi. Misalnya, seorang pelajar yang diberi tugas untuk membuat suatu makalah.
Pelajar tersebut mempunyai dua pilihan sumber untuk mendapatkan referensi tugas makalah tersebut yaitu media buku atau smartphone.
Jika ditimbang dari aspek kemudahan dari dua sumber informasi ini, sudah tentu smartphone adalah pilihan yang terbaik dalam mendapatkan informasi yang nantinya dijadikan referensi untuk membuat sebuah makalah. Karna mudah dalam mengakses informasi.
Mengapa hal diatas dapat terjadi?.
Karna sipengajar cenderung tidak lagi memperhatikan kualitas dari isi makalah tersebut melainkan lebih mengarah pada aspek kewajiban mengajar semata.Namun jika pengajar lebih memperhatikan kualitas isi makalah, maka waktu yang dibutuhkan juga harus sebanding atau lebih lama. Karna membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menganalisah satu persatu makalah tersebut.

Ironi, pendidikan tidak lagi bergerak pada penguatan karakter namun berpacu pada nilai yang bersifat semu semata atau nilai yang tertuang di atas kertas. Itulah fakta yang terjadi. Maka jangan heran jika kebanyakan dari kalangan pelajar saat ujian lebih banyak melakukan tindakan menyontek. Karna nilai jauh lebih dihargai daripada sebuah nilai kejujuran.
Daripada SP (Semester Pendek) melayang karna nilai ujian tidak memenuhi standar, lebih baik menyontek untuk memenuhi nilai standar. Karna untuk mengikuti SP juga memerlukan biaya.
Maka jangan heran jika banyak orang yang berpendidikan tinggi tapi miskin akhlak. Jika kita disuruh memilih antara orang cerdas atau orang yang berakhlak, kita pasti akan memilih orang yang berakhlak daripada orang yang cerdas. Sebagai contoh, seorang telah berhasil menipu orang lain dengan taktik yang telah disusun sedemikian rupa untuk mengelabuhi korbannya.
Penipu itu cerdas dalam menyusun taktik, tapi jika tindakan ini diserat pada perspektif akhlak tentu orang akan memandang bahwa tindakan seperti itu bukanlah tindakan yang baik.
Oleh karna itu pendidikan budaya sangatlah diperlukan sebagai upaya dalam memperthankan jati diri dalam bernegara.

Salam literasi
@Ucca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar